Untaian nasehat pasutri bag 1
MATERI KELUARGA SAMAWA :
UNTAIAN NASEHAT UNTUK PASUTRI.
(BAGIAN 1)
بسم الله الرحمن الرحيم
الســـلام عليــكم ورحــمة اﻟلّـہ وبركاته
إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَ نَتُوْبُ إِلَيْهِ وَنَعُوْذُ بلله مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إله إلا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لا نَبِيَّ بَعْدَهُ ِ
Ikhwah dan akhwat fillah, semoga Allah azza wa jalla merahmati kami dan anda semua. Tiada hentinya kita panjatkan syukur kepada Allah azza wa jalla atas segala karunia yang dilimpahkan pada kita. Mari senantiasa kita memanfaatkan kenikmatan Allah azza wa jalla dalam rangka memperbaiki diri kita, karena banyak hal yang masih perlu diperbaiki dari berbagai kekurangan dalam menunaikan kewajiban. Juga memperbaiki berbagai kesalahan yang kita lakukan, yang mana itu dapat mengundang murka Allah azza wa jalla.
Kenikmatan Allah azza wa jalla khususnya kenikmatan sunnah adalah nikmat yang sangat besar, yang Allah berikan hanya pada segelintir manusia. Allah berfirman:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Al-An’am: 116)
Dari ayat ini jelas bahwa kebanyakan manusia mengajak pada kesesatan. Dan Allah azza wa jalla berfirman:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (Yusuf: 106)
Maknanya, semakin sedikit di antara mereka yang benar-benar beriman, bahkan kebanyakan mereka masih ternodai dengan kesyirikan. Maka pada yang sedikit inilah, sebagaimana yang Allah nyatakan tersebut, mudah-mudahan kita termasuk dalam orang-orang yang Allah kecualikan tersebut. Yaitu yang senantiasa sesuai bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam akidah, ibadah, muamalah, dan akhlak-perilaku kita. Begitulah kenikmatan dari Allah dalam Islam dan dalam sunnah, merupakan kenikmatan yang tiada tandingannya.
》Berpegang Teguh pada Bimbingan Islam
Islam telah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya sesuai kodrat, harkat dan martabat manusia. Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi tuntunan kepada kita, khususnya dalam masalah muamalah suami-istri atau hubungan rumah tangga. Inilah hubungan yang merupakan lingkup kecil dalam masyarakat manusia, yang mana tatkala dalam lingkup kecil ini baik maka baiklah lingkup yang lebih besar. Semua ini berangkat dari rumah tangga yang masing-masing kita punya tanggungjawab di dalamnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun, awal mula tanggungjawab dakwah beliau tunaikan mulai kepada keluarga, sebagaimana perintah Allah :
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأَقْرَبِينَ
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (Asy-Syu’ara: 214)
Tanggung jawab ini mesti kita pahami dengan skala prioritas yang sesuai tuntunan agama, bukan oleh hawa nafsu dan kepentingan lainnya. Terkadang karena ada kepentingan maka orang lain lebih didahulukan daripada keluarganya. Ini sering terjadi, bahkan dalam masalah infak, atau dalam urusan memberi kebaikan. Padahal semestinya keluarga dan kerabat didahulukan daripada yang lainnya. Manakala kepedulian dan tanggung jawab ini dimulai dari suatu keluarga dengan saling memahami, maka insya Allah akan terjalin suatu masyarakat yang indah sekali.
》Ada suatu kisah dari teladan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mana beliau membimbing untuk mengutamakan kerabat dalam hal kebaikan.
عَنْ كُرَيْبٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ مَيْمُونَةَ بِنْتَ الْحَارِثِ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا أَعْتَقَتْ وَلِيدَةً وَلَمْ تَسْتَأْذِنِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا كَانَ يَوْمُهَا الَّذِي يَدُورُ عَلَيْهَا فِيهِ قَالَتْ أَشَعَرْتَ يَا رَسُولَ اللهِ أَنِّي أَعْتَقْتُ وَلِيدَتِي قَالَ أَوَفَعَلْتِ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ أَمَا إِنَّكِ لَوْ أَعْطَيْتِهَا أَخْوَالَكِ كَانَ أَعْظَمَ لِأَجْرِكِ
Dari Kuraib Maula Ibnu Abbas bahwasanya Maimuna binti Al-Harits memberitahukan kepadanya bahwa ia telah memerdekakan seorang budak tanpa meminta izin kepada Rasulullah. Maka ketika tiba waktu Rasulullah menggilirnya, Maimunah berkata, “Apakah engkau tahu wahai Rasulullah, bhw aku telah memerdekakan budakku?” Beliau berkata, “Apakah memang sudah engkau merdekakan?” Maimunah berkata, “Ya.” Beliau berkata, “Sesungguhnya kalau engkau berikan ia kepada paman-pamanmu maka itu lebih besar pahalanya untukmu.” (HR. Bukhari)
Yaitu dengan memberi kebaikan berupa sadaqah kepada kerabat sekaligus adalah amalan menyambung kekerabatan. Inilah tutunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memberi yang terbaik bagi kerabat.
Allah ta’ala telah mengajarkan bagaimana hak suami, kewajiban suami, hak istri, dan kewajiban istri. Semua telah ada tuntunannya dalam Islam. Jika ini semua terbolak-balik maka akan terjadi kekacauan dan ketidaktentraman. Maka itu jadilah istri yang terdidik dengan didikan sunnah. Bagaimanapun kedudukannya, seperti nasabnya yang mulia, keluarganya yang kaya raya, akan tetapi hendaknya tetap bisa menempatkan diri sesuai posisinya sebagai istri.
Ada banyak contoh dalam masyarakat yang indah di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentang bagaimana pahamnya mereka dengan bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sekalipun dari kalangan perempuan di antara mereka. Rasanya jauh dibandingkan keadaan masa kita ini.
》Salah satunya seperti kisah masyhur seorang jariyah.
Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulami. Ia berkata: Aku berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seorang budak perempuanku, telah aku pukul.” Rasulullah kemudian menegurku dengan keras. Lalu aku katakan, “Apakah tidak sebaiknya aku memerdekakannya?” Beliau berkata, “Bawalah ia kepadaku.” Mua’wiyah mengatakan, “Aku pun membawanya. Kemudian Rasulullah bertanya kepada budak itu, “Di manakah Allah?” Ia menjawab, “Di atas langit.” Rasulullah bertanya lagi, “Siapakah aku?” Ia menjawab, “Engkau adalah Rasul Allah.” Setelah itu beliau berkata, “Merdekakanlah ia karena ia seorang perempuan yang beriman.” (HR. Muslim)
Padahal jariyah adalah seorang budak perempuan yang kesehariannya bergelut dengan kambing gembala, akan tetapi mereka kenal dengan Allah dan bertauhid dengan benar.
Demikian juga kisah Barirah, seorang budak perempuan yang dimerdekakan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anhu. Ini telah diriwayatkan dalam suatu kisah panjang, yang mana para ulama ada yang mengambil sampai seratus faidah dari kisah yang indah ini. Di antaranya yang bisa kita ambil dalam kaitan pembahasan kita, tentang kecerdasan Barirah dalam melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Barirah yang telah bersuami itu dibebaskan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anhu . Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat cinta suaminya, Mughits, begitu besar. Mughits masih budak sedangkan Barirah sudah merdeka. Dalam Islam, jika salah seorang suami atau istri sudah merdeka, maka adalah hak bagi yang sudah merdeka apakah mau meneruskan sebagai suami-istri atau tidak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat cintanya Mughits kepada Barirah, sampai-sampai diikutinya terus ke mana Barirah pergi bahkan sambil menangis. Akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat betapa bencinya Barirah kepada Mughits. Melihat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam iba, beliau berkata, “Wahai Barirah seandainya kamu kembali saja kepada suamimu.” Barirah berkata, “Wahai Rasulullah, engkau perintahkan aku untuk kembali, ataukah sekedar memberi hiburan saja? Jika ini perintah maka aku laksanakan walau aku tidak suka.”
Ini menunjukkan kepahaman dan ketaatan Barirah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sekalipun dia bekas budak. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Ini hanya syafi’ saja.” Barirah berkata, “Aku tidak butuh lagi pada suamiku.”
Kemudian kisah lainnya, Fatimah binti Qais yang dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm. Fatimah berkata:
“Maka ketika aku telah halal (selesai dari masa iddah –pent.) aku bercerita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm melamarku. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Adapun Abu Jahm, maka ia adalah orang yang suka memukul.” Sedangkan Mu’awiyah, ia adalah seorang sho’luk yang tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah.” Namun aku tidak menyukai Usamah. Kemudian beliau berkata, “Menikahlah dengan Usamah.” Kemudian aku menikah dengannya. Dan Allah menganugrahkan kebaikan pada dirinya sehingga aku pun menyenanginya.” (HR. Muslim)
Karena Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan, maka Fatimah tetap melaksanakan. Ia yakin bahwa apa yang diperintahkan, meskipun tidak menyenangkan, pasti mengandung kebaikan. Karena tidak ada perintah dalam agama ini melainkan di dalamnya ada kebaikan. Dan itu akhirnya diakui sendiri oleh Fatimah. Setelah menikahi Usamah, dia menjadi yang paling cemburu kepada suaminya. Dan banyak kebaikan lain yang didapatkannya.
Bersambung....
Komentar
Posting Komentar