Untaian nasehat pasutri bag 3
MATERI KELUARGA SAMAWA :
UNTAIAN NASEHAT UNTUK PASUTRI.
(BAGIAN 3)
بسم الله الرحمن الرحيم
الســـلام عليــكم ورحــمة اﻟلّـہ وبركاته
إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَ نَتُوْبُ إِلَيْهِ وَنَعُوْذُ بلله مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إله إلا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لا نَبِيَّ بَعْدَهُ
》Saling Berlemah Lembut
Allah azza wa jalla berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya.” (Ar-Rum: 21)
Ini ayat yang harus kita tadabburi. Dikatakan: litaskunuu ilaihaa. Bukan: ma’ahaa. Berarti seorang suami tidak tenang kecuali kepada istrinya. Dan sebaliknya istri pun tidak akan tenang kecuali kepada suaminya. Di sini ada hubungan saling membutuhkan. Qowamah suami bukan berarti menjadikannya sembrono lantaran dia pemimpin. Akan tetapi walau suami sebagai qowam bagi istrinya, namun mereka tetap saling membutuhkan. Tidak boleh ada kesewenang-wenangan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Dunia itu adalah perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita yang shalihah.”
Maka tinggal bagaimana suami itu mendidik istrinya agar dapat menjadi perempuan shalihah, yang menjadi kenikmatan terbesar di dunia. Walaupun seluruh dunia dimilikinya, namun jika tidak bersama istri yang shalihah, maka tidak akan ada ketenangan. Meski apa saja yang diinginkan telah didapatkannya, tapi sudah menjadi sebuah sunnatullah bahwa sebaik-baik perhiasan adalah perempuan shalihah, yang ia dapat tenang kepadanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Abu Dawud dari hadis Abu Hurairah)
Tentunya akhlak yang terbaik adalah kepada istrinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ
“Sebaik-baik orang di antara kalian adalah yang paling baik kepada istrinya.” (HR. Ibnu Majah dari hadis Ibnu Abbas)
Lantas mengapa ada yang berlaku pada orang lain santun sekali, berbicara dan berbuat dengan lembut -seperti istri berkata kepada orang lain dengan lemah lembut- namun kepada suami atau istri sendiri akhlak ini ditinggalkannya?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ
“Saling berwasiatlah berbuat baik terhadap wanita, karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk.” (HR. Al-Baihaqi dari hadis Abu Hurairah)
Inilah kodrat wanita. Mendidiknya harus dengan halus dan lembut. Oleh karena itu dalam surat An-Nisa ayat ke-19, Allah azza wa jalla berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.”
Ma’ruf (patut) mencakup semua yang ma’ruf yang akan mengarah pada kebaikan. Contohnya ada banyak dalam rumah tangga Rasulullah. Lihatlah bagaimana sabarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapi permasalahan rumah tangganya. Ini menjadi teladan bagi kita. Misalnya ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapi kecemburuan istri beliau.
عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عِنْدَ بَعْضِ نِسَائِهِ فَأَرْسَلَتْ إِحْدَى أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ بِصَحْفَةٍ فِيهَا طَعَامٌ فَضَرَبَتِ الَّتِي النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِي بَيْتِهَا يَدَ الْخَادِمِ فَسَقَطَتِ الصَّحْفَةُ فَانْفَلَقَتْ فَجَمَعَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِلَقَ الصَّحْفَةِ ثُمَّ جَعَلَ يَجْمَعُ فِيهَا الطَّعَامَ الَّذِي كَانَ فِي الصَّحْفَةِ وَيَقُولُ غَارَتْ أُمُّكُمْ ثُمَّ حَبَسَ الْخَادِمَ حَتَّى أُتِيَ بِصَحْفَةٍ مِنْ عِنْدِ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا فَدَفَعَ الصَّحْفَةَ الصَّحِيحَةَ إِلَى الَّتِي كُسِرَتْ صَحْفَتُهَا وَأَمْسَكَ الْمَكْسُورَةَ فِي بَيْتِ الَّتِي كَسَرَتْ.
“Dari Anas, ia berkata, “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di rumah salah seorang istri beliau. Lalu seorang istri beliau lainnya mengirimkan sepiring makanan. Istri yang rumahnya sedang ditempati oleh beliau pun memukul tangan si pembantu (yang membawakan makanan). Maka jatuhlah piring itu sehingga terbelah. Rasulullah kemudian mengumpulkan belahan piring tersebut lalu mengumpulkan kembali makanan (yang berserakan) itu ke dalamnya sambil berkata, “Ibu kalian sedang cemburu.” Lalu beliau menahan pembantu itu sampai beliau dibawakan piring lain dari rumah istri yang sedang beliau tempati. Piring yang betul beliau berikan kepada pemilik piring yang pecah. Dan piring yang pecah beliau simpan di rumah istri yang memecahkan piring tadi.” (HR. Bukhari)
Jika permasalahan seperti itu ada muncul di rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka wajar jika terjadi pada kita juga. Akan tetapi yang penting adalah bagaimana kita meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghadapinya.
Jika istri sudah berusaha mentaati suami, maka ketika muncul suatu permasalahan rumah tangga, janganlah suami mencari-cari kesalahan. Tapi hendaknya ia melakukan introspeksi, karena permasalahan muncul juga dari pemimpinnya sebagai penangung jawab. Oleh karena itu Allah dalam akhir firman-Nya:
إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً
“Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (An-Nisa: 34)
Ini sebagai peringatan bagi suami jangan berlaku bughat kepada istrinya. Ini juga mengandung makna tarhib bagi para suami untuk tidak semena-mena pada istrinya atau mencari-cari kesalahan tanpa alasan. Demikian sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsir dalam tafsirnya.
Bersambung…...
Komentar
Posting Komentar