Untaian nasehat pasutri bag 2

MATERI KELUARGA SAMAWA :
UNTAIAN NASEHAT UNTUK PASUTRI.
(BAGIAN 2)

بسم الله الرحمن الرحيم
الســـلام عليــكم ورحــمة اﻟلّـہ وبركاته

إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَ نَتُوْبُ إِلَيْهِ وَنَعُوْذُ بلله مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إله إلا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لا نَبِيَّ بَعْدَهُ

》Masih banyak lagi kisah-kisah lainnya.

Keteguhan iman ini karena qowam suami, yang mendidik di atas sunnah. Laki-laki menjadi qowam dengan karunia kelebihan yang Allah berikan, dan dengan nafkah yang diberikan suami kepada istrinya. Manakala seorang muslimah memahami ini, maka tidak akan terjadi apa yang banyak terjadi sekarang dengan embel-embel emansipasi. Persamaan gender  yang tiada lain ujung-ujungnya adalah menuruti hawa nafsu. Ini hanyalah makar dari kaum kuffar Barat.

》Kedudukan Suami Sebagai Qowam/Pemimpin

Allah telah menyatakan bahwa laki-laki setingkat lebih tinggi dari wanita. Ini adalah dalam urusan dunia, dan dalam hubungan suami istri. Sedangkan dalam hal ketakwaan adalah tergantung ketakwaan masing-masing. Ketika seorang istri memahami betul kedudukan seorang suami, ini adalah bagian dari ketakwaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai bersabda:

لَوْ أَمَرْتُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ ، لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

“Kalau saja aku boleh menyuruh seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya aku menyuruh para istri untuk bersujud kepada suami mereka.” (HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah)

Akan diperintahkan demikian karena kedudukan seorang suami. Akan tetapi kedudukan seperti ini adalah mandat dari Allah, yang didalamnya ada tanggung jawab. Bukan sekedar posisi. Dalam kedudukan ini ada tanggung jawab yang harus dipahami dengan baik. Allah memerintahkan suami untuk menjaga keluarganya, anak dan istrinya. Demikian pula untuk mendidik keluarga dengan baik dengan didikan sunnah. Semua ini adalah demi menjaga apa yang diamanahkan Allah tersebut. Allah azza wa jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (At-Tahrim: 6)

Maknanya, jika anak dan istri tidak dididik dengan baik, maka itu seperti menyiapkan anak dan istri menjadi bahan bakar api neraka. Di ayat lain Allah berfrman:

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُواْ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافاً خَافُواْ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللّهَ وَلْيَقُولُواْ قَوْلاً سَدِيداً

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An-Nisa: 9)

Yaitu kelemahan di dalam agamanya, dalam akidahnya, juga kelemahan dalam dunia. Maka janganlah kalian tinggalkan keluarga dalam keadaan lemah iman dan akidahnya. Dapat kita lihat bagaimana Sa’ad bin Abi Waqqas saat Fathu Makkah, yang mana beliau sudah lemah dan sakit. Ia menceritakan:

جَاءَنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَعُودُنِي مِنْ وَجَعٍ اشْتَدَّ بِي زَمَنَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَقُلْتُ بَلَغَ بِي مَا تَرَى وَأَنَا ذُو مَالٍ ، وَلاَ يَرِثُنِي إِلاَّ ابْنَةٌ لِي أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي قَالَ : لاََ قُلْتُ بِالشَّطْرِ قَالَ : لاََ قُلْتُ الثُّلُثُ قَالَ الثُّلُثُ كَثِيرٌ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ وَلَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ.

“Rasulullah datang membesukku karena sakit keras yang aku derita saat haji wada’. Aku berkata, “Keadaanku sudah sedemikian rupa sebagaimana yang engkau lihat. Dan aku memiliki harta. Sedangkan yang mewarisi hartaku hanyalah seorang anak perempuan. Maka apakah aku boleh bersedekah dengan dua per tiga hartaku?” Beliau berkata, “Tidak.” Aku berkata, “Dengan setengahnya?” Beliau berkata, “Tidak.” Aku berkata, “Sepertiganya?” Beliau berkata, “Sepertiga itu sudah banyak. Lebih baik engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan menjadi beban, meminta-minta kepada orang lain. Dan tidaklah engkau mengeluarkan suatu nafkah dengan mengharapkan wajah Allah, melainkan engkau akan diberi ganjaran pahala karenanya. Sampai apa yang engkau suapkan ke mulut istrimu sendiri.” (HR. Bukhari)

Ini adalah dalam hal dunia, maka dalam hal akhirat lebih penting lagi. Sebagaimana wasiat Luqman yang Allah abadikan dalam Al-Quran:

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (Luqman: 13)

Juga wasiat para Nabi dari Nabi Ya’kub, Nabi Ibrahim, Nabi Zakaria, dan lainnya. Mereka tidak berkata, “Apa yang akan kalian makan sepeninggalku nanti?” Allah berfirman:

أَمْ كُنتُمْ شُهَدَاء إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِن بَعْدِي

“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?”” (Al-Baqarah: 133)

Allah berfirman:

فَلْيَتَّقُوا اللّهَ وَلْيَقُولُواْ قَوْلاً سَدِيداً

“Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An-Nisa: 9)

Ini adalah tuntunan hendaknya suami mendidik istri dan anaknya jangan sampai mereka menjadi bahan bakar api neraka. Pada ayat lain Allah berfirman:

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)

Penekanan ayat ini adalah kepada para suami untuk memperhatikan anak keturunan, terkhusus shalat sebagai parameternya. Karena jika shalat telah disia-siakan maka akan diperturutkanlah hawa nafsu. Jika sudah hawa nafsu yang diikuti maka kesesatanlah yang didapat. Ini adalah di antara kewajiban suami agar memperhatikan kepada keluarganya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Masing-masing kalian adalah pemimpin dan masing-masing kalian akan dimintai tanggung jawab atas apa yg dipimpinnya.” (HR. Bukhari)

Artinya, kedudukan yang Allah berikan itu ada pertangungjawabannya di akhirat. Bukan sekedar posisi atau mandat. Dalam hal ini, kepemimpinan laki-laki untuk bisa sampai kepada apa yang dituntunkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, harus meneladani Rasulullah.

Mungkin sebagian dari kita ada yang membayangkan, nanti ingin mendapat suami ideal yang meneladani Rasulullah. Atau mendapat istri ideal yang meneladani para istri Rasulullah. Akan tetapi hendaknya kita sadar bahwa kita manusia yang memiliki kelemahan. Keluarga kita bukanlah seperti keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita hanya berupaya meniti jejak beliau dan mengikuti bimbingan beliau. Para wanita kita tidaklah seperti Khadijah, Aisyah, para Ummahatul Mukminin. Keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun kadang mengalami riak-riak permasalahan keluarga. Maka pada kita lebih mungkin lagi terjadi permasalahan keluarga. Bahkan telah terjadi banyak sekali problema dari kalangan kita sendiri (padahal sudah mengenal sunnah). Maka itu perlu berlapang dada. Inilah yang perlu disadari dan dipahami.

Mungkin saja terjadi masalah, di mana si istri yang hanya seorang wanita biasa, bersikap kurang ajar kepada suami. Padahal si istri sudah mulai menuntut ilmu agama, akan tetapi bisa terjadi yang seperti ini. Hingga terjadilah apa yang terjadi, sampai pada perceraian. Mungkin permasalahan di antaranya adalah karena masalah tabiat, namun hendaknya kita tetap berusaha memperbaiki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ

“Ilmu itu dengan dipelajari.” (HR. Bukhari)

Oleh karena itu akhlak bisa diperbaiki manakala kita berusaha, dengan taufik dari Allah. Sebagaimana di antara Sahabat pun di kala jahiliyah adalah manusia yang paling biadab, namun manakala masuk Islam, maka mereka berubah menjadi manusia yang paling beradab. Begitu juga para ulama. Ada di antara mereka yang sebelumnya adalah bermacam-macam. Seperti Fudhail bin Iyadl yang dulunya adalah seorang perampok. Atau Jazan yang pernah menjadi seorang ‘artis’. Namun akhirnya mereka bisa meninggalkan akhlak jelek mereka dan menjadi ulama. Mereka qudwah kita dalam mengubah akhlak yang tidak baik menjadi baik.

Dalam mendidik, janganlah menyamakan wanita dengan laki-laki. Menyikapi wanita tidak sama dengan menyikapi laki-laki, karena memang wanita tidak sama dengan laki-laki. Sebagaimana Al-Qur’an telah mengisahkan ketika istri Imran menginginkan diberi keturunan laki laki, namun yang dilahirkan adalah perempuan. Allah berfirman:

وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالأُنثَى

“Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.” (Ali Imran: 36)

Maka ini adalah bantahan bagi emansipasi. Laki-laki berbeda dari wanita, secara jasad dan lainnya. Oleh karena itu kepemimpinan/qowamah membutuhkan kelembutan, lapang dada, kesabaran, kemudahan, kasih sayang. Inilah yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendidik istri-istri beliau. Imam An-Nasa’i telah mengumpulkan dalam kitab ‘Isyratun Nisa`, mengenai rumah tangga Rasulullah. Jika kita mengambil teladan dari beliau maka itu akan menjadi solusi bagi permasalahan rumah tangga kita.

Bersambung.....

Komentar

Postingan Populer