Untaian nasehat untuk pasutri

MATERI KELUARGA SAMAWA :
UNTAIAN NASEHAT UNTUK PASUTRI.
(BAGIAN 5)

بسم الله الرحمن الرحيم
الســـلام عليــكم ورحــمة اﻟلّـہ وبركاته

إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَ نَتُوْبُ إِلَيْهِ وَنَعُوْذُ بلله مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إله إلا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لا نَبِيَّ بَعْدَهُ

》Khidmah Istri pada Sang Suami

Seorang wanita juga harus paham keadaan dirinya dan suaminya. Ketika wanita diperintahkan taat kepada suami, ketaatan ini bukan untuk suaminya, tapi untuk dirinya sendiri. Karena hikmah ketaatan ini adalah sebagai ketaatan kepada Allah. Maka ini untuk dirinya sendiri. Ketaatan kepada suami semata-mata karena ketaatannya kepada Allah. Dengan memahami ini menjadi ringanlah bersikap taat pada suami. Lakukanlah dengan keikhlasan, karena itu sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah. Misalnya ketika memasak, mencuci, membereskan rumah, menyiapkan keperluan suami, ia akan tetap tenang. Itu semua dilakukan dengan keikhlasan karena bagian dari ketaatan kepada Allah. Sekalipun sedang ada masalah dengan suaminya, tapi dengan menyadari hal ini, ia kemudian tidak membiarkan suaminya kelaparan atau kehausan. Justru ia akan dapat berlapang dada dan tetap taat kepada suami. Jika dia menyadari bahwa jalan menuju surga adalah dengan berkhidmat kepada suami, maka walaupun dalam keadaan sedang bermasalah dengan suami, dia tetap merasa ringan melayani suami.

Hal ini adalah teladan dari para shahabiyat, yang salah satunya dikisahkan dalam Al Qur’an. Yaitu dalam asbabun nuzul surat Mujadalah. Mengenai kisah Khaulah binti Tsa’labah yang dizihar oleh suaminya.

Dari Khaulah binti Tsa’labah, ia berkata: “Demi Allah, Allah telah menurunkan awal surat Al-Mujadilah berkenaan dengan diriku dan Aus bin Ash-Shamit (suaminya -pent.)” Khaulah berkata, “Suatu ketika aku sedang bersamanya. Dan ia adalah seorang yang sudah sangat tua. Perilakunya sudah tidak baik dan suka mengeluh.” Khaulah berkata, “Suatu hari ia masuk menemuiku. Kemudian aku menyanggahnya dalam suatu perkara. Ia pun marah dan berkata, “Bagiku, engkau adalah seperti punggung ibuku.” Setelah itu dia keluar lalu duduk-duduk di tempat kumpul kaumnya sebentar. Kemudian ia kembali masuk menemuiku. Tiba-tiba ia berkeinginan untuk berhubungan denganku.” Khaulah berkata, “Maka aku katakan: Tidak, demi yang jiwa Khaulah berada di tangan-Nya, jangan dekati aku sedangkan engkau telah mengatakan apa yang engkau katakan, sampai Allah dan Rasul-Nya menetapkan hukum tentang kita.” Khaulah berkata, “Lalu ia menyergapku. Namun aku mengelak dan mengalahkannya sebagaimana seorang perempuan mengalahkan seorang laki-laki tua yang lemah. Aku pun mendorongnya jatuh. Lalu aku keluar menuju salah seorang tetangga dan meminjam pakaian darinya, kemudian mendatangi Rasulullah. Aku duduk di hadapan beliau dan menceritakan apa yang kualami. Aku adukan kepada beliau keburukan perilaku suamiku terhadapku.” Khaulah berkata, “Rasulullah kemudian mengatakan, “Wahai Khaulah, anak pamanmu itu seorang yang sudah sangat tua. Maka bertakwalah kepada Allah berkenaan dengan dirinya.” Khaulah berkata, “Demi Allah, aku terus saja seperti itu sampai turun Al-Quran. Rasulullah pun mengalami keadaan berat saat mendapatkan wahyu, kemudian terlepaslah keadaan tersebut dari beliau. Beliau lalu berkata, “Wahai Khaulah, Allah telah menurunkan Al-Quran berkenaan dengan dirimu dan suamimu.” Khaulah berkata, “Kemudian beliau membacakan kepadaku firman Allah:

قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ

“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah.” (Al-Mujadilah: 1)

Sampai ayat:

وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.” (Al-Mujadilah: 4)

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Suruhlah ia memerdekakan seorang budak.” Khaulah berkata, “Aku katakan: Wahai Rasulullah, ia tidak memiliki budak yang bisa dimerdekakan.” Beliau berkata, “Kalau begitu, ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut.” Khaulah berkata, “Aku katakan: Wahai Rasulullah, demi Allah, sesungguhnya ia adalah orang yang sudah sangat tua. Ia tidak dapat berpuasa.” Beliau berkata, “Kalau begitu ia harus memberi makan enam puluh orang miskin, (masing-masing) dengan satu wasq kurma.” Aku berkata, “Demi Allah, wahai Rasulullah, dia tidak memiliki hal itu.” Khaulah berkata: Rasulullah kemudian mengatakan, “Kami akan membantunya dengan satu ‘araq kurma.” Khaulah berkata, “Dan aku pun akan membantunya dengan satu ‘araq lagi.” Beliau berkata, “Engkau benar dan engkau telah berbuat baik. Maka pergi dan bersedekahlah dengannya untuk suamimu. Kemudian terimalah wasiat bersikap baik dengan anak pamanmu itu.” Khaulah berkata, “Aku pun kemudian melakukan hal-hal tersebut.”

Maka lihat bagaimana seorang istri membantu beban suaminya. Separuh diyat zihar dibayar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan separuhnya dibayar oleh istrinya. Ini dalam rangka menyelamatkan sang suami dari hukuman Allah. Maka bagaimana dalam kadaan biasa, tentu sang istri mesti lebih berkhidmah kepada suami. Inilah yang perlu disadari oleh para istri. Dan masih banyak teladan baik lainnya dari para shahabiyat.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّي أُرِيتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ

“Wahai para wanita, bersedekahlah. Karena aku diperlihatkan bahwa penduduk neraka yang paling banyak adalah para wanita.” (HR. Bukhari)

Mendengar ini maka Zainab istri Abdullah bin Mas’ud -yang lebih kaya daripada suaminya- bersegera untuk membantu suaminya sebagai khidmat kepada suami.

“Dari Abu Wail, bahwasanya istri Ibnu Mas’ud berkata, “Wahai Abu Abdirrahman, Rasulullah keluar menemuiku dan beberapa wanita lain dari kalangan Anshar. Beliau berkata, “Bersedekahlah walaupun dengan perhiasan kalian. “Maka tanyakanlah Rasulullah: apakah kalau aku berinfak kepadamu dan anak-anak saudaraku maka itu dapat menjadi ganti bersedekah? Kalau tidak, maka aku akan berinfak di jalan Allah.” Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya aku malu menanyakan hal ini kepada beliau. Maka engkau sajalah yang bertanya.” Lalu aku pergi ke rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata ada seorang perempuan Anshar yang keperluannya sama dengan keperluanku. Lalu datanglah Bilal kepada kami. Kami berkata, “Wahai Bilal, sampaikanlah salam kami kepada Rasulullah. Dan beritahukanlah kepada beliau: apakah kalau kami memberi nafkah kepada suami dan anak-anak saudara kami, maka itu dapat menjadi ganti kami bersedekah? Kalau tidak, maka kami akan berinfak di jalan Allah.” Bilal pun masuk dan memberitahukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, “Sampaikanlah salam kepada keduanya. Dan beritahu bahwa memberi nafkah kepada suami dan anak-anak saudara mereka, memiliki ganjaran dua kali lipat: ganjaran menyambung tali kekerabatan dan ganjaran sedekah.”

Di sini sebagai teladan bagi kita, walaupun suami bukanlah tanggung jawab istri, tapi tatkala suami memang fakir maka istri –yang lebih kaya- bermurah hati memberi kepada suami. Ini menjadi bakti seorang istri kepada suami sekaligus komitmennya melaksanakan agama Allah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Janganlah lantaran si istri lebih kaya, dan kedudukan sosialnya lebih tinggi, lantas menjadi kurang ajar kepada suami. Lihatlah shahabiyat yang sekalipun mempuyai harta lebih namun tetap santun kepada suaminya.

Hendaknya suami dan istri benar-benar saling memahami. Istri memahami tanggung jawab pada suami dan keharusan berkhidmah karena berkhidmah pada suami adalah jalan menuju ridha Allah dan surga. Bahkan ada hal-hal yang dilarang dilakukan oleh istri agar tetap dapat berkhidmah pada suami. Seperti istri yang dilarang berpuasa sunnah karena suami. Sebagaimana dalam hadits Aisyah yang menunda mengqadha puasa Ramadhan sampai datangnya Sya’ban karena beliau melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini perihal berkhidmah kepada suami. Kemudian jika ada suatu permasalahan, maka kembalikanlah pada tuntunan Allah dan Rasulullah. Allah Ta’ala berfirman:

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa: 59)

Oleh karena itu, jika ada masalah sekecil apapun dalam rumah tangga maka kembalikanlah kepada tuntunan Islam. Demikianlah hendaknya jika kita memang beriman kepada Allah dan hari akhir. Jika ini disadari dan dilaksanakan maka ketenangan akan didapatkan dalam rumah tangga, sehingga menjadi rumah tangga yang selalu dalam naungan Allah azza wa jalla dan dibanggakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wabillahittaufik. Wasshallallahu wasallamu ‘ala rasulillah.

Selesai....

Komentar

Postingan Populer