Fiqh ramadhan ; antara menabung dan berinfaq
FIQH RAMADHAN :
ANTARA MENABUNG DAN BER-INFAQ
بسم الله الرحمن الرحيم
الســـلام عليــكم ورحــمة اﻟلّـہ وبركاته
إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَ نَتُوْبُ إِلَيْهِ وَنَعُوْذُ بلله مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إله إلا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لا نَبِيَّ بَعْدَهُ
Menabung terlanjur dianggap sebagai aktivitas yang positif, bahkan _‘full positif’_. Mungkin amat langka orang menyebut aktivitas menabung sebagai tindakan negatif. Bahkan banyak orang tua Muslim (mungkin juga sebagiannya para aktifis dakwah) yang mulai mengajari anak-anaknya menabung sejak kecil.
Mengapa?
Tentu karena menabung dianggap sebagai bagian dari sikap baik. Sikap ini nyaris tanpa cela di mata kebanyakan orang hanya karena menabung identik dengan gaya hidup hemat, sementara hemat biasanya dilawankan dengan kata boros. Karena itu, anak-anak diajari sedari dini aktivitas menabung di rumah, di sekolah, di koperasi atau mungkin di bank.
Tak jarang, orangtua begitu bangga jika putranya bisa mengumpulkan banyak uang dalam celengannya di rumah. Guru begitu riang jika dalam catatan buku tabungan anak-anak didiknya tertera angka-angka nominal yang besar. Mereka amat bangga jika di rekening putra-putrinya di bank tercatat angka-angka nominal yang banyak.
Anak-anak tentu akan lebih riang-gembira dan bangga saat menunjukkan hasil tabungannya yang banyak kepada orangtua atau gurunya. Bahkan mungkin tabungan itu akan ia pamerkan kepada teman-temannya. Tentu —namanya anak-anak— sering tidak terlalu memperhatikan bahwa di sekelilingnya mungkin banyak teman-temannya yang tidak seberuntung dirinya; jangankan untuk menabung, bahkan sekadar jajan alakadarnya pun mungkin sering gak punya.
Karena terlanjur dianggap _‘full positif’_, tak jarang orang tua seperti gak rela saat suatu waktu, misalnya, anaknya ternyata menghabiskan uang jajannya untuk mentraktir teman-temannya sekadar untuk menyenangkan hati mereka atau sebagai bentuk solidaritas sesama teman.
Tindakan itu kadang dianggap royal dan boros. Betulkah?
*****
Suatu ketika, Baginda Nabi Muhammad Shollallaahu 'alaihi wa sallaam menghampiri lemari Sahabat Bilal bin Rabbah Radhiyallaahu 'anhu yang di dalamnya disimpan harta sedekah.
Saat dilihat, di lemari tersebut terdapat seonggok kurma.
Beliau bertanya : “Kurma apa ini, Bilal?”
“Ya Rasulullah, itu adalah kurma yang saya simpan sebagai persediaan untuk engkau,” jawab Bilal.
Nabi Shollallaahu 'alaihi berkata : “Apakah engkau merasa aman sampai pagi, sementara di lemari itu terdapat asap neraka Jahanam?
Cepat, infakkan segera kurma itu! Janganlah engkau khawatir, Zat Pemilik ‘Arsy akan memenuhi kekurangan dan kebutuhan,” tegas Baginda Nabi Shollallaahu 'alaihi wa sallaam. (HR. Ibn Syihab).
Wajar saja jika kemudian, saat Bilal ditanya oleh Abdullah bin Luhay al-Huzni, berapa belanja Rasulullah Shollallaahu 'alaihi wa sallaam...?
Bilal pun menjawab : “Beliau tidak memiliki apa pun. Akulah yang mengurusi beliau sejak diutus hingga beliau Shollallaahu 'alaihi wa sallaam wafat. Jika beliau melihat seorang Muslim yang tidak memiliki pakaian yang layak, maka beliau menyuruh aku mencari pinjaman, lalu membelikan untuk dia pakaian, kemudian memakaikan pakaian itu kepada dia, sekaligus memberi dia makan.” (HR. Ibn Hibban).
Dalam riwayat lain, Uqbah Radhiyallaahu 'anhu bertutur : Aku pernah shalat ashar di belakang Baginda Nabi Shollallaahu 'alaihi wa sallaam di Madinah. Setelah mengucapkan salam, tiba-tiba beliau segera berdiri, kemudian berjalan cepat melewati pundak orang-orang untuk memasuki salah satu bilik istri beliau. Orang-orang pun menyingkir karena begitu terburu-burunya beliau. Lalu beliau segera keluar dan kembali ke hadapan mereka yang sedang terheran-heran. Beliau lalu bersabda : “Aku tadi teringat akan emas, sementara aku tidak suka menyimpannya. Karena itu, aku memerintahkan agar emas itu segera dibagi-bagikan.” (HR al-Bukhari).
Ummu Salamah Radhiyallaahu 'anha. juga pernah bertutur : “Baginda Nabi Shollallaahu 'alaihi wa sallaam pernah memasuki tempat tinggalku dengan rona wajah yang muram. Karena khawatir beliau sakit, aku bertanya : ‘Ya Rasulullah, mengapa wajahmu tampak muram?’ Beliau menjawab, ‘Gara-gara tujuh dinar (sekitar Rp. 14 juta) yang kemarin kita terima, sementara hingga sore hari, uang itu belum juga diinfakkan". (HR Ahmad dan Abu Ya’la).
Saat menyertai Baginda Nabi Shollallaahu 'alaihi wa sallaam hijrah ke Madinah, Abu Bakar Radhiyallaahi 'anhu membawa seluruh hartanya sebanyak lima atau enam ribu dirham (setara Rp 420 juta) untuk diinfakkan di jalan Allah Ta'ala. (HR Ibn Ishaq).
Utsman Radhiyallaahu 'anhu pernah menginfakkan hartanya sebanyak 1000 dinar (setara Rp 2 miliar) saat Baginda Nabi Shollallaahu 'alahi wa sallaam sedang mempersiapkan pasukan (HR al-Hakim; Al-Bidayah, II/179).
Abdurrahman bin Auf Radhiyallaahu 'anhu pernah menginfakkan separuh hartanya; itu belum termasuk tambahan sebanyak 40 ribu dinar (setara Rp. 80 milar), 500 ekor unta dan 500 ekor kuda. (HR Ibn al-Mubarak; Al-Ishabah, II/416).
Hakim bin Hizam Radhiyallaahu 'anhu pernah menjual tanahnya seharga 200 ribu dirham (setara Rp 14 miliar), yang semuanya diinfakkan di jalan Allah Ta'ala. (HR ath-Thabrani).
Demikianlah, mereka baru sejumlah kecil dari para Sahabat Nabi Shollallaahu 'alaihi wa sallaam yg mulia dalam menginfakkan harta-harta mereka. Sangat jarang diriwayatkan, bahwa mereka rajin menabung dan menumpuk-numpuk harta. Tentu, karena mereka adalah pengikut sejati Baginda Rasulullah Shollallaahu 'alaihi wa sallaam yang telah memberikan teladan bagaimana seharusnya memperlakukan harta.
*****
Jadi, bolehkah menabung? Tentu tidak dilarang selama ada keperluan.
Persoalannya, bagaimana jika tidak ada keperluan?
Lebih utama mana, antara menabung harta saat tak ada keperluan dengan menginfakkan harta itu di jalan Allah Ta'ala?
Lebih afdhal mana menabung di bank dibandingkan dengan ‘menabung’ untuk kepentingan akhirat...?
Lebih dari itu, masihkah kita perlu mengajari anak-anak kita menabung ketimbang mendidik mereka untuk gemar berinfak di jalan Allah Ta'ala?
Masihkah kita -sadar atau tidak- menanamkan kecintaan terhadap harta pada anak-anak kita dengan terus mendorong mereka untuk gemar menabung, sementara kadang mereka tidak memerlukan harta tabungan itu?
Jika alasannya untuk berjaga-jaga, tidakkah berjaga-jaga untuk kepentingan akhirat jauh lebih layak daripada berjaga-jaga untuk kepentingan dunia?
Jadi, salahkah menabung? Tidak juga. Namun, tentu ‘menabung’ untuk kepentingan akhirat, itulah sejatinya yang lebih layak kita lakukan dan kita ajarkan kepada anak-anak kita. Mulailah dengan memberi mereka contoh secara langsung dengan cara membiasakan diri dengan memperbanyak infak di jalan Allah Ta'ala. Itulah sejatinya ‘tabungan’ kita yang hakiki dan abadi, yang pasti akan kita jumpai kembali di akhirat nanti.
BAGAIMANAKAH DENGAN KITA WAHAI SAUDARAKU....???
APAKAH MAMPU SEPERTI MEREKA....???
MARI KITA RENUNGKAN BERSAMA...
Wallaahu A'lam
Wallaahu Waliyyut Taufiq
Semoga bermanfaat bagi Penulis dan bagi Para Pembaca Yang Budiman. Baarokallaahu Fiikum. Hadanallaahu Wa Iyyaakum Jamii'an. Yassarallaahu Lanal Khairo Haitsuma Kunna...
¤¤ AD-DIINU AN-NASHIIHAH ¤¤
Pondok Pesantren Tahfidz Al-Wafa' Al-Islamy Bima. Selasa, 14 Juni 2016
HP/WA : 085253777143
BBM : 5FCB6D17
LINE : أبو حاصف ألبيماوى
Silakan SHARE pada yang lain yang belum mengetahui, agar Anda pun bisa dapat bagian pahala.
Komentar
Posting Komentar