Kewajiban berpuasa dan berhari raya dengan mengikuti pemerintah
KEWAJIBAN BERPUASA DAN BERHARI RAYA DENGAN MENGIKUTI PEMERINTAH
بسم الله الرحمن الرحيم
الســـلام عليــكم ورحــمة اﻟلّـہ وبركاته
إِنَّ الْحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَ نَتُوْبُ إِلَيْهِ وَنَعُوْذُ بلله مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ الله فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إله إلا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لا نَبِيَّ بَعْدَهُ
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallaam bersabda :
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
ASH-SHOUMU YAUMA TASHUUMUUNA WAL FITHRU YAUMA TUFTHIRUUNA WAL ADHAA YAUMA TUDHOHHUUNA.
“Berpuasa adalah hari kalian berpuasa, berbuka (berhari raya idul fitri) adalah hari kalian berbuka dan berkurban (berhari raya idul adha) adalah hari kalian berkurban.” [HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallaahu ’anhu, Ash-Shahihah : 224]
Beberapa Pelajaran :
》Pertama : Perintah Berpuasa dan Berhari Raya bersama Pemerintah.
Para ulama menjelaskan bahwa makna hadits yang mulia ini adalah perintah berpuasa Ramadhan dan berhari raya Idul Fitri dan Idul Adha bersama Pemerintah, dan bahwa Pemerintah yang berhak menentukan waktu dimulainya puasa dan hari raya.
Al-Imam Abu Isa At-Tirmidzi rahimahullah setelah meriwayatkan hadits ini beliau berkata :
وَفَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ هَذَا الْحَدِيثَ فَقَالَ : إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا الصَّوْمُ وَالْفِطْرُ مَعَ الْجَمَاعَةِ وَعِظَمِ النَّاسِ
WA FASSARO BA'DHU AHLIL 'ILMI HAADZAL HADIITSA FAQOOLA : INNAMAA MA'NAA HAADZASH SHOUMU WAL FTHRU MA'AL JAMAA'ATI WA 'IDHOMIN NAASI.
“Sebagian ulama telah menafsirkan hadits ini, mereka berkata: Hanyalah makna hadits ini adalah berpuasa dan berbuka (berhari raya) bersama al-jama’ah (Pemerintah) dan kebanyakan manusia (tidak sendiri-sendiri atau berkelompok-kelompok).” [Sunan At-Tirmidzi, 2/72]
Al-‘Allaamah As-Sindi rahimahullah berkata :
وَالظَّاهِر أَنَّ مَعْنَاهُ أَنَّ هَذِهِ الْأُمُور لَيْسَ لِلْآحَادِ فِيهَا دَخْل وَلَيْسَ لَهُمْ التَّفَرُّد فِيهَا بَلْ الْأَمْر فِيهَا إِلَى الْإِمَام وَالْجَمَاعَة وَيَجِب عَلَى الْآحَاد اِتِّبَاعهمْ لِلْإِمَامِ وَالْجَمَاعَة
WA DZOOHIRI ANNA MA'NAAHU ANNA HAADZIHIL UMUURI LAISA LIL AHAADI FIIHAA DAKHLI WA LAISA LAHUMU T TAFARRUD FIIHAA BAL AMRI FIIHAA ILAL IMAAMI WAL JAMAA'ATI WA YAJIB 'ALAL AHAADI ITTIBAA'AHUM LIL IMAAMI WAL JAMAA'ATI
“Dan nampak jelas bahwa makna hadits ini adalah, perkara-perkara ini (menentukan waktu puasa dan hari raya) tidak boleh ada campur tangan individu-individu dan tidak boleh bagi mereka untuk menetapkan keputusan sendiri, akan tetapi keputusannya diserahkan kepada pemimpin dan pemerintah, dan wajib bagi individu-individu untuk mengikuti keputusan pemimpin dan pemerintah” [Haasyiatus Sindi ‘ala Ibni Majah, 1/509]
》Kedua : Renungan untuk Ormas yang Menggunakan Metode Hisab dan Menyelisihi Pemerintah.
Hadits yang mulia ini juga menunjukkan bahwa orang yang menentukan puasa dan hari raya dengan cara hisab dan tidak diakui pemerintah adalah tertolak.
Al-Imam Al-Mundziri rahimahullaah berkata :
وَقِيلَ فِيهِ الرَّدُّ عَلَى مَنْ يَقُولُ إِنَّ مَنْ عَرَفَ طُلُوعَ الْقَمَرِ بِتَقْدِيرِ حِسَابِ الْمَنَازِلِ جَازَ لَهُ أَنْ يَصُومَ بِهِ وَيُفْطِرَ دُونَ مَنْ لَمْ يَعْلَمْ
WA QIILA FIIHIR RADDU 'ALAA MAN YAQUULU INNA MAN 'AROFA THULUU'AL QOMARI BITAQDIIRI HISAABIL MANAAZILI JAAZALAHU AN YASHUUMA BIHI WA YIFTHIRO DUUNA MAN LAM YA'LAM
"Dan dikatakan bahwa dalam hadits ini ada bantahan terhadap org yang berpendapat bahwa siapa yang mengetahui kemunculan bulan dengan perkiraan hisab (perhitungan) tempat-tempat (posisi) bulan maka boleh baginya untuk berpuasa dan berbuka tanpa diketahui orang lain.” [Tuhfatul Ahwadzi, 3/313]
Terlebih lagi jika Pemerintah di suatu negeri diberikan taufiq oleh Allah ta’ala untuk menetapkan awal Ramadhan dengan cara yang sesuai syari’at, yaitu dengan cara melihat hilal, apabila hilal tidak terlihat maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari, sebagaimana dalam pembahasan sebelumnya.
Maka orang atau ormas yang menyelisihi keputusan pemerintah karena mengikuti metode hisab, mereka telah melakukan beberapa kesalahan :
1) Menyelisihi perintah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallaam untuk mengikuti Pemerintah, maka tidak dibenarkan mengikuti keputusan ormas-ormas atau kelompok-kelompok tertentu dalam penetapan puasa dan hari raya.
2) Menetapkan awal Ramadhan dengan cara mengada-ada dalama agama, tanpa ada contoh dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallaam, yaitu dengan cara hisab, padahal seharusnya dengan ru’yah hilal.
3) Apabila disertai dengan celaan terhadap pemerintah secara terang-terangan dengan dalih menasihati maka ini adalah cara menasihati kelompok ahlul bid’ah Khawarij yang menyelisihi syari’at.
4) Itu juga termasuk ghibah, yang merupakan dosa besar.
》Ketiga : Apabila Kesaksian Melihat Bulan Tidak Diakui Pemerintah.
Hadits yang mulia ini juga menunjukkan bahwa orang yang melihat hilal (bulan baru) namun kesaksiannya tidak diakui oleh Pemerintah maka tidak boleh baginya untuk berpuasa, menurut pendapat yang terkuat insya Allah.
Al-Imam Al-Mundziri rahimahullaah berkata :
وَقِيلَ إِنَّ الشَّاهِدَ الْوَاحِدَ إِذَا رَأَى الْهِلَالَ وَلَمْ يَحْكُمْ الْقَاضِي بِشَهَادَتِهِ أَنَّ هَذَا لَا يَكُونُ هَذَا صَوْمًا لَهُ كَمَا لَمْ يَكُنْ لِلنَّاسِ
WA QIILA INNASY SYAAHIDAL WAAHIDA IDZAA RO-AL HILAALA WALAM YAHKUMUL QOODHI BISYAHAADATIHI ANNA HAADZAA LAA YAKUUNU HAADZA SHOUMAN LAHU KAMAA LAM YAKUN LINNAASI
“Dan dikatakan bahwa satu orang saksi yang melihat hilal dan kesaksiannya tidak diakui oleh hakim maka tidak boleh baginya berpuasa, sebagaimana tidak boleh juga bagi orang-orang.” [Tuhfatul Ahwadzi, 3/313]
Al-‘Allaamah As-Sindi rahimahullaah berkata
وَعَلَى هَذَا فَإِذَا رَأَى أَحَد الْهِلَال وَرَدَّ الْإِمَام شَهَادَته يَنْبَغِي أَنْ لَا يَثْبُت فِي حَقّه شَيْء مِنْ هَذِهِ الْأُمُور وَيَجِب عَلَيْهِ أَنْ يَتْبَع الْجَمَاعَة فِي ذَلِكَ
WA 'ALAA HAADZAA FA-IDZAA RO-AA AHAADAL HILAAL WA RODDAL IMAAM SYAHAADATIHI YANBAGHII ANLAA YATSBUT FII HAQQOHU SYAI-IN MIN HADZIHIL UMUUR WA YAJIB 'ALAIHI AN YATBA'AL JAMAA'AH FII DZALIKA.
“Oleh karena itu, apabila seseorang melihat hilal, namun Penguasa menolak persaksiannya, maka sepatutnya ia tidak memutuskan apa-apa dalam perkara-perkara ini, dan wajib baginya untuk mengikuti keputusan Pemerintah”
[Haasyitus Sindi ‘ala Ibni Majah, 1/509]
Pendapat ini juga yang dikuatkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari tiga pendapat ulama berdasarkan hadits yang mulia ini, beliau berkata :
يَصُومُ مَعَ النَّاسِ وَيُفْطِرُ مَعَ النَّاسِ وَهَذَا أَظْهَرُ الْأَقْوَالِ
YASHUUMU MA'AN NAASI WA YUFTHIRU MA'AN NAASI WA HAADZAA ADZHARUL AQWAALI
Hendaklah orang yang melihat hilal tetap berpuasa dan berhari raya bersama manusia, inilah pendapat yang paling jelas (kebenarannya).” [Majmu’ Al-Fatawa, 25/114-115]
Karena pada hakikatnya yang dinamakan hilal apabila ia sudah terlihat dan diakui pemerintah, kemudian pemerintah menetapkannya dan tersebar beritanya di tengah-tengah masyarakat, jadi bukan sekedar melihat keberadaan hilal.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :
"Sesungguhnya hilal diambil dari makna azh-zhuhur (nampak jelas) dan raf’u ash-shout (mengangkat suara), maka kemunculannya di langit, apabila belum nampak di bumi; tidak ada hukum karenanya (tidak memberikan pengaruh pada penetapan awal dan akhir Ramadhan), tidak secara batin, tidak pula sacara zahir. Dan isim (kata benda) hilal adalah pecahan kata dari perbuatan (kata kerja) yang dilakukan oleh manusia, seperti dikatakan: Kami telah menyaksikan hilal dan melihatnya. Maka tidak ada hilal kecuali sesuatu yang telah jelas. Apabila satu atau dua orang telah melihatnya, namun mereka tidak mengabarkannya kepada manusia, maka itu bukan hilal, sehingga tdk ditetapkan hukum karenanya sampai mereka mengabarkannya kepada manusia, maka ketika itu barulah pengabaran mereka menjadi penampakan hilal yang merupakan rof’u ash-shout (mengangkat suara) dengan mengabarkan keberadaannya, dan karena pensyari’atan ibadah mengikuti ilmu, maka apabila belum memungkinkan untuk mencapai ilmunya (yaitu ilmu tentang awal Ramadhan), belum wajib mulai berpuasa.” [Majmu’ Al-Fatawa, 25/109-110]
》Keempat : Bagaimana Apabila Ijtihad Pemerintah Salah dalam Menetapkan Awal atau Akhir Ramadhan?
Hadits yang mulia ini juga menununjukkan bahwa penetapan waktu puasa dan hari raya diserahkan kepada ijtihad pemerintah dengan cara yang benar, yaitu melihat bulan atau menyempurnakan bulan. Apabila mereka sudah berusaha untuk berijtihad dengan cara yang benar dan ternyata ijtihad mereka keliru maka tidak ada celaan atas mereka dan tidak perlu dipermasalahkan. Al-Imam Al-Khottabi rahimahullah berkata :
"Makna hadits ini bahwa penetapan awal puasa dan hari raya diserahkan kepada manusia (pemerintah) serta termasuk perkara yang ditetapkan melalui ijtihad. Andaikan satu kaum berijtihad, lalu mereka tidak melihat hilal kecuali setelah hari ke-30, lalu mereka tidak berbuka sampai menyempurnakan bulan menjadi 30 hari, kemudian ternyata di kemudian hari menjadi jelas bagi mereka bahwa bulan hanya 29 hari, maka puasa dan berbuka mereka telah berlalu dan tidak ada celaan atas mereka.” [Haasyiatus Sindi ‘ala Ibni Majah, 1/509-510]
》 Kelima : Hikmah Menaati Pemerintah dalam Penetapan Awal dan Akhir Ramadhan.
Diantara hikmah besar apabila seluruh kaum muslimin mengikuti keputusan Pemerintah dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan adalah mengokohkan persatuan kaum muslimin. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata :
"Tidak diragukan lagi bahwa bersatunya kaum muslimin dalam puasa dan hari raya adalah perkara yang baik, dicintai oleh jiwa dan dituntut secara syari’at, apabila memungkinkan.” [Majmu Fatawa Ibni Baz, 15/74]
Wallaahu A'lam
Wallaahu Waliyyut Taufiq
Semoga bermanfaat bagi Penulis dan bagi Para Pembaca Yang Budiman. Baarokallaahu Fiikum. Hadanallaahu Wa Iyyaakum Jamii'an. Yassarallaahu Lanal Khairo Haitsuma Kunna...
¤¤ AD-DIINU AN-NASHIIHAH ¤¤
Pondok Pesantren Tahfidz Al-Wafa' Al-Islamy Bima. Senin, 6 Juni 2016
(Awal Bulan Ramadhan 1437 H)
Silakan SHARE pada yang lain yang belum mengetahui, agar Anda pun bisa dapat bagian pahala.
Komentar
Posting Komentar