Hukum suap
HUKUM RISYWAH
(SUAP-MENYUAP ATAU SOGOK MENYOGOK)
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة و السلام على رسول الله و على آله و صحبه أجمعين, أما بعد :
Praktik suap menyuap hukumnya haram dan termasuk dosa besar.
Pelakunya dilaknat oleh Allah Ta'ala dan Rasul-Nya. Firman Allah:
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِن جَآءُوكَ فَاحْكُم بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, byk memakan yang haram. jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka……”. (Al-Maidah: 42).
Umar bin Khaththab, Abdullah bin Mas’ud Radhiallaahu 'anhu dan selainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan as-suhtu (sesuatu yang haram) adalah risywah (suap-menyuap). (Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, Al-Qurthubi VI/119).
Dari Abu Hurairah Radhiallaahu 'anhu berkata :
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِى وَالْمُرْتَشِى فِى الْحُكْمِ.
“Rasulullah Shollallaahu 'alaihi wa sallaam melaknat orang yang menyuap dan yang disuap dalam masalah hukum.”
(HR. Ahmad, 9019; At-Tirmidzi, 1387 dishohihkan Al-Albani).
Dari Abdullah bin ‘Amr berkata:
قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ.
“Rasulullah melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap”. (HR. Abu Daud, 3580; At-Tirmidzi, 1337 dishohihkan Al-Albani).
Itulah nash-nash yang menunjukkan besarnya dosa suap menyuap dan bahaya bagi para pelakunya, baik yang menyuap atau yang disuap.
Menyadari keharaman suap, tentu menjadikan kita waspada. Namun kadang kala kita tidak berdaya, karena ada sebagian pemangku wewenang yang dengan sengaja menghalang-halangi hak kita, kecuali bila kita memberinya apa yang ia inginkan. Pada kondisi semacam ini, kita dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama pahit :
- Menuruti keinginan pejabat nakal tersebut.
- Merelakan hak kita untuk selama-lamanya.
Kedua pilihan ini tentu sama-sama berat, namun bila dibanding-bandingkan, maka pilihan pertama seringkali terasa lebih ringan akibatnya. Yang demikian itu, karena pada opsi pertama sebagian hak kita dirampas, namun nilainya lebih kecil bila dibanding apa yang berhasil kita selamatkan.
Seperti orang yang menyerahkan sejumlah uang kepada PNS atau pak hakim untuk mendapatkan haknya atau mencegah kezaliman dari dirinya tidak dinilai sebagai orang yang menyuap. Ini adalah pendapat mayoritas ulama fikih diantaranya adalah Atha, Jabir bin Zaid, dan Al-Hasan Al-Bashri , Ibnu Taimiyah dan dipilih oleh Syekh Al-Albani.
Dosa dalam kasus ini ditanggung oleh orang yang menerima suap karena dia berkewajiban untuk tidak melakukan kezaliman dan semestinya memberikan layanan kepada masyarakat sebagaimana semestinya tanpa meminta imbalan kepada mereka. Nabi bersabda :
" هدايا العمال غلول" رواه أحمد والبيهقي وصححه الألباني
“Hadiah untuk pegawai adalah ghulul (harta khianat)” (HR. Ahmad dan Baihaqi dan dinilai shahih oleh al Albani).
Ibnu Mas’ud Radhiallaahu 'anhu, ketika di Ethiopia beliau menyuap senilai dua dinar agar bisa melanjutkan perjalanannya yang tertahan. Beliau mengatakan,
إنّ الإثم على القابض دون الدّافع.
“Sesungguhnya dosanya ditanggung oleh yang menerima suap bukan yang menyerahkan”.
Imam Al Mawardi Rahimahullaah menyatakan, “Terkait hukum memberi suap, bila motivasinya melakukan hal tersebut demi menyelamatkan haknya atau menghindari perilaku semena-mena, maka tidak haram. Kasus ini serupa dengan perbuatan menebus tawanan perang dengan sebagian harta." (Al-Hawi Al-Kabir, 16:284)
Walau demikian, perlu diingat bahwa pejabat penerima suap berdosa dan haram baginya menikmati uang suap tersebut. Karena penegasan Imam Al Mawardi hanya berlaku untuk korban suap, bukan pejabat yang disuap.
Imam An-Nawawi Rahimahullaah mengatakan, “Tentang memberikan uang suap, jika seorang itu menyuap hakim agar hakim memenangkan perkaranya padahal dia bersalah atau agar hakim tidak memberikan keputusan yang sejalan dengan realita, maka memberi suap hukumnya haram. Sedangkan suap dengan tujuan agar mendapatkan hak, hukumnya tidaklah haram (halal) sebagaimana uang tebusan untuk menebus tawanan.” (Raudhatu Ath-Thalibin IV/131).
Ash-Shan’ani Rahimahullaah mengatakan, “Suap kepada hakim supaya ia memenangkan perkaranya padahal dia merupakan pihak yang salah merupakan perbuatan yang haram bagi penerima dan pemberi suap. Sedangkan suap kepada hakim agar hakim memenangkan perkaranya dan memang dia adalah pihak yang benar, hukum suap ini haram bagi hakim yang menerima uang suap namun tidak haram bagi pemberi suap karena suap itu alat untuk mendapatkan hak maka uang suap dalam hal ini bagaikan uang yang diberikan kepada budak yang kabur agar mau kembali kepada tuannya dan sebagaimana upah untuk pengacara. Akan tetapi ada juga yang berpendapat bahwa suap untuk mengambil hak hukumnya tetap haram karena suap semacam ini menjerumuskan pihak yang disuap ke dalam dosa.” (Subulus Salam 6: 417)
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullaah dalam menerangkan tentang hadits risywah : “Dan dari hadits ini kita mengetahui besarnya kejelekkan riswah, dan sesungguhnya hal tersebut termasuk dari perkara-perkara besar yang sampai menyebabkan nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam berdiri berkhutbah kepada manusia dan memperingatkan dari perbuatan ini. Karena sesungguhnya apabila riswah merajalela di sebuah kaum maka mereka akan binasa dan akan menjadikan setiap dari mereka tidak mengatakan kebenaran, tidak menghukumi dengan kebenaran dan tidak menegakkan keadilan kecuali jika diberi riswah, kita berlindung kepada Allah. Dan riswah , terlaknat yang mengambilnya dan terlaknat pula yang memberi kecuali apabila dalam keadaan yang mengambil riswah menghalangi hak-hak manusia dan tidak akan memberikannya kecuali dengan riswah maka dalam keadaan seperti ini laknat jatuh terhadap yang mengambil dan tidak atas yang memberi karena sesungguhnya pemberi hanya menginginkan mengambil haknya, dan tidak ada jalan bagi dia untuk itu kecuali dengan membayar riswah maka yang seperti ini mendapatkan udzur.
Sebagaimana ditemukan sekarang (kita berlindung kepada Allah) di sebagian pejabat di Negara-negara Islam yang tidak menunaikan hak-hak manusia kecuali denganriswah ini (kita belindung kepada Allah) maka dia telah memakan harta dengan batil, dia telah menimpakan kepada dirinya sendiri dengan laknat. Kita memohon kepada Allah ampunan, dan wajib bagi orang-orang Allah telah mempercayakan kepadanya pekerjaan untuk melaksanakannya dengan keadilan dan menegakkannya dengan perkara-perkara yang wajib ditegakkan di dalamnya sesuai kemampuannya.( Syarah Riyadhus Sholihin , 1/187).
Wallaahu a’lam.
Wallaahu Waliyyut Taufiiq
Semoga bisa memberikan manfaat untuk kita semua, serta bisa sebagai acuan untuk senantiasa memberikan kita ilmu yg bermanfaat, Rizqi yg Halal lagi Baik dan amalan yg diterima.
¤¤ AD-DIINU AN-NASHIIHAH ¤¤
Komentar
Posting Komentar